(source: gentwenty.com)
Menyeduh kopi di pagi hari adalah
nikmat bagi segala sesuatu. Segala aktivitas dari mulai bangun tidur hingga
sebelum tidur, selalu ditemani oleh secangkir kopi. Bagiku, kopi adalah teman
bekerja, bercakap bersama orang-orang sehingga tidak mungkin satu hari bagiku
tidak meminumnya.
Dewasa ini, kebutuhan meminum kopi
sangatlah banyak, karena khasiat kopi yang diberikan membantu seseorang dalam
kegiatan kesehariannya. Mulai dari berangkat bekerja atau waktu bekerja
biasannya seseorang akan menyeduh secangkir kopi untuk menambah konsentrasi
ataupun obat untuk kantuk.
Aktivitas kita setelah meminumnya akan
membuat kita menjadi bersemangat. Bekerja misalnya kita menjadi fokus dan lebih
semangat dalam bekerja. Saking semangat bekerja melawan aktivitas harian kita
sampai lupa bagaimana kita bisa melewati hari-hari yang repetitif.
Ya. Lupa akan Diri seringkali membuat
kita terkecoh dan tidak awas dalam melakukan keseharian kita. Seringkali
membuat ‘lupa diri’, sebenarnya apa yang terjadi kepada kita – membuat kita
sibuk bermain benda-benda di sekitar kita.
Terkadang ketika menyeduh kopi,
perasaan menjadi cemas, gundah, sedih. Entah efek dari kandungan kopi itu
sendiri atau justru perasaan mempertanyakan eksistensi sewaktu meminumnya.
Dua aktivitas yang berbeda namun akan
menjadi jelas tujuannya, yaitu: menjadi eksistensi diri, siapakah kita dan
mengapa kita cemas tanpa objek dan aktivitas melupakan Diri kita sejenak. Tiba-tiba
kita melakukan hal-ini dan hal-itu, tanpa mengetahui sebenarnya alasan dibalik
itu. Seolah-olah kita terlempar entah dalam keadaan mengerti kondisi kita
sebenarnya.
Hal ini membuat teringat salah satu
filsuf bernama Martin Heidegger tentang bagaimana mempertanyakan hakikat
sesuatu yang Ada (Being). Bagi Heidegger, manusia Ada karena status
keterlemparannya, ini menarik ketika manusia diandaikan Ada secara tiba-tiba
dan hal itu dianggap sebagai keterlemparan.
Kecemasan, kebingungan serta
pertanyaan tentang eksistensi diri muncul ketika menyeduh kopi sewaktu diwaktu
sepi. Rasanya cocok membayangkan antara keterlemparan dan kesendirian. Kita
hidup, datang di dunia tanpa persetujuan sebelumnya, tiba-tiba ada dalam dunia.
Kesendirian meliputi keterlemparan ini membuat seseorang bertanya-tanya perihal
eksistensinya.
Meskipun begitu, sekarang kesendirian
dan faktisitas tidak dapat dimaknai dengan rasa cemas, rasa takut. Dengan
kepintaran teknologi, manusia (being) menemukan Diri yang lain. Kita
hidup dimana segala sesuatu dapat diakses dengan namanya gawai, kita dapat
berselancar menemukan apapun. Kecepatan informasi dan perangkat gadget
lah yang membuat diri kita tidak pernah bertanya tentang apa yang kita lakukan.
Kita larut dalam keseharian – kesibukan keseharian inilah yang membuat kita
tidak dapat menemukan diri yang otentik. Bagi Heidegger, hal tersebut justru
menjadikan Diri sebagai kerumunan yang bisa menerima informasi-informasi dari
segala arah tanpa memikirkannya.
Komentar
Posting Komentar